Home ยป Soal Utang Indonesia yang Capai Rp17.500 Triliun, Kemenkeu: Itu Berita Menyesatkan
Economy Indonesia News Politics

Soal Utang Indonesia yang Capai Rp17.500 Triliun, Kemenkeu: Itu Berita Menyesatkan




Anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo membantah soal isu utang Indonesia yang mencapai Rp17.500 triliun.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis itu mengatakan bahwa berita tersebut adalah informasi menyesatkan.  Hal itu dinyatakan melalui akun twitternya @prastow, dilansir Minggu (14/5/23).

Menurutnya, sesuai dengan data yang dipublikasikan secara rutin oleh Kementerian Keuangan, utang pemerintah per 31 Maret 2023 sebesar Rp 7.879,07 triliun.

“Tentu kita berpijak pada data resmi yang konsisten dipakai tahun ke tahun, rezim ke rezim,” ujarnya.

Ia menganggap, utang pemerintah meski sebesar itu masih terbilang aman. Sebab, dari sisi rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 39,17%, jauh di bawah batas yang diperkenankan dalam Undang-undang Keuangan Negara yang sebesar 60%.

“Sehingga tidak benar jika dikatakan utang pemerintah lebih dari 100% PDB (Rp 15.600 triliun),” ungkap Prastowo.

Selain itu, ia turut membantah persoalan kewajiban kontinjensi yang turut dinarasikan dalam kabar utang pemerintah telah tembus Rp 17.500 triliun. Kewajiban kontinjensi ini disebut utang yang jadi tanggung jawab negara tapi tidak pernah dilaporkan oleh APBN, seperti utang BUMN.

“Disebut-sebut tentang kewajiban kontinjensi. Hal ini perlu kita luruskan supaya tidak mengecoh dan menyesatkan publik,” tutur Prastowo.

Ia menjelaskan, kewajiban kontinjensi adalah kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu atau lebih peristiwa pada masa datang yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah.

Menurut Prastowo, kewajiban kontinjensi tidak disajikan di neraca pemerintah, namun cukup diungkapkan dalam catatan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat untuk setiap kontinjensi pada akhir pelaporan. Ini karena kewajibannya baru bersifat potensi, belum tentu akan terjadi atau terealisasi.

Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat pun ditegaskannya utang BUMN tidak masuk dalam kategori kewajiban kontinjensi. Entitas lain seperti BUMN, Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH), Pemda, dan BUMD juga tidak termasuk dalam cakupan LKPP.

“BUMN sendiri merupakan kekayaan negara yang dipisahkan menurut UU Keuangan Negara. Utang BUMN tentu menjadi kewajiban BUMN, bukan kewajiban Pemerintah Pusat, termasuk untuk pembayaran pokok utang dan bunganya,” tegasnya.

Utang BUMN sendiri baru dianggap sebagai kewajiban kontinjensi pemerintah, jika utang ini dijamin oleh pemerintah. Kewajiban kontinjensi tersebut tidak serta pula menjadi utang pemerintah sepanjang mitigasi risiko default atau gagal bayar dijalankan.

Seperti halnya keuntungan BUMN, menurut Prastowo juga tidak serta merta menjadi penerimaan pemerintah. Hanya jika BUMN membayarkan dividen sejumlah tertentu, maka penerimaan dividen ini diakui sebagai pendapatan dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) oleh pemerintah.

Dalam narasi utang bombastis itu juga disebutkan terkait persoalan kewajiban pembayaran uang pensiun oleh pemerintah. Kata Prastowo, pemberian manfaat pensiun dilakukan setiap bulan sebagai wujud penghargaan dan komitmen Pemerintah kepada para pensiunan ASN/TNI/Polri terhadap dedikasi dan pengabdian selama bekerja.

“Pemerintah terus berupaya memperbaiki sistem pengelolaan pensiun agar lebih baik dan memberikan manfaat yang optimal. Tata kelola program pensiun yang baru akan memperhatikan pembagian tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara adil dan akuntabel,” ungkap Prastowo.

Sumber: Bukamata News

Translate