Home » Jejak Pegasus Di Indonesia, SAFEnet: Siapa Yang Mengawasi Para Pengawas
Featured Global News Indonesia News Politics Technology

Jejak Pegasus Di Indonesia, SAFEnet: Siapa Yang Mengawasi Para Pengawas


TEMPO.COJakarta – Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, Damar Juniarto mengatakan Indonesia memerlukan mekanisme untuk mengawasi para pengawas setelah terungkap perangkat spyware Pegasus digunakan untuk meretas aktivis HAM, jurnalis, dan politikus.

Damar mengatakan mekanisme pengawasan ini setelah liputan investigasi konsorsium IndonesiaLeaks mengungkap Spyware digunakan oleh Polri dan Badan Intelijen Negara atau BIN. Apalagi, kata dia, kehadiran Pegasus ini menjadi alat untuk kepentingan pemilu 2019 lalu sehingga diperlukan pengawas untuk para pengawas.

Meskipun istilah pengintaian atau pengawasan dibenarkan hukum karena ada undang-undang penyadapan atau undang-undang intelijen, Damar menegaskan perlu untuk mengawasi pada pengawas.

“Siapa yang akan mengawasi para pengawas ini? Who is watching the watcher,” tanya Damar saat mengisi diskusi ‘Alat Sadap Pegasus Ancaman bagi Demokrasi’, Selasa, 20 Juni 2023.

Menurut Damar, pertanyaan ini penting karena Pegasus yang diimpor secara ketat menggunakan pajak dari masyarakat itu telah disalahgunakan untuk menargetkan orang-orang yang tidak masuk dalam kategori pelaku kejahatan.

Mereka yang menjadi target adalah jurnalis, aktivis HAM dan pegiat demokrasi, hingga politikus. Alih-alih menggunakan mandat masyarakat untuk menciptakan keamanan, namun nyatanya digunakan untuk merampas hak privat warga di ruang digital. “Jangan sampai kemudian terjadi hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.

Damar menuturkan isu Pegasus di Indonesia bukan sesuatu mengejutkan. Pasalnya, keberadaannya telah menjadi rumor. Namun ia mengatakan laporan IndonesiaLeaks menjadi konfirmasi adanya pengintaian di ruang digital yang selama ini bersifat dugaan.

Ia mengatakan konfirmasi ini penting karena mematahkan argumen perusahaan penyedia Pegasus, NSO Group, yang mengklaim teknologi mereka untuk menanggulangi kejahatan dan meningkatkan keamanan publik. Faktanya, laporan IndonesiaLeaks mengungkap mereka yang diintai adalah orang-orang yang bukan termasuk pelaku kejahatan.

Damar menyebut ada banyak bukti pengawasan digital ini menjadi pengawasan yang tidak pada tempatnya, atau dalam bahasa hukum disebut unlawful surveillance

Unlawful surveillance itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi,” kata Damar.

Damar menjelaskan, unlawful surveillance merupakan bentuk pelanggaran digital yang serius jika dilakukan secara sengaja dan ditargetkan untuk perampasan hak privasi dan merusak sistem demokrasi. Apalagi pengadaan perangkat ini diimpor secara ketat dan menggunakan pajak warga. 

“Artinya semua perangkat-perangkat pengawasan digital kemudian disalahgunakan dipakai secara melawan hukum. Ini adalah praktik perampasan, juga terhadap apa yang menjadi mandat masyarakat untuk meminta hak atas rasa aman,” ujar Damar.

Namun Damar menyayangkan korban peretesan Pegasus di Indonesia masih enggan untuk diperiksa secara forensik berdasarkan laporan IndonesiaLeaks. Padahal, kata dia, ini bisa menjadi permulaan untuk membawa kasus unlawful surveillance ke ranah hukum.

Ia pun mencontohkan bagaimana negara lain memulai metode pengawasan. Thailand, misalnya, mulai menindak penggunaan Pegasus yang tidak semestinya. Ia mengatakan 14 aktivis di Thailand bersedia untuk diperiksa perangkatnya setelah diretas Pegasus.

“Hasilnya adalah adanya metode pengawasan yang sedang diajukan di Thailand,” ujar Damar.

Pertama, adalah munculnya tuntutan perdata terhadap NSO group selaku penyedia Pegasus ke kepolisian. Kedua, yakni gugatan pidana terhadap kepolisian yang telah menyalahgunakan Pegasus untuk mengawasi para aktivis. 

“Ini adalah sebuah mekanisme yang telah didorong ‘siapa yang mengawasi para pengawas?’,” kata dia.

Damar mengatakan apa yang dilakukan IndonesiaLeaks mesti menjadi momentum untuk langkah konkret agar Indonesia mendorong pengawasan terhadap pengawas. Hal ini, kata dia, nantinya akan memberi jaminan terhadap ruang privasi dan ruang demokrasi di indonesia. 

Kolaborasi jurnalis investigasi global, Organized Crime and Corruption Reporting Project, serta Forbidden Stories mengungkap penyimpangan penggunaan spyware Pegasus. Alat sadap besutan perusahaan asal Israel, NSO Group Technologies itu disebut digunakan untuk memata-matai aktivis, jurnalis, dan politikus di berbagai belahan dunia.

Pegasus ditengarai telah masuk Indonesia. Konsorsium IndonesiaLeaks, di antaranya beranggotakan Tempo, bersama jaringan jurnalisme global Forbidden Stories serta Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menemukan indikasi operasi spyware Pegasus di Indonesia. Empat praktisi teknologi informasi intelijen memastikan Pegasus beroperasi di Indonesia sejak 2018.

Selain Polri, mereka yakin Badan Intelijen Negara (BIN) pernah menggunakan Pegasus. Salah seorang di antaranya bahkan mengaku pernah dimintai bantuan untuk mengoperasikan Pegasus.

Kepala Divisi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Polri Inspektur Jenderal Slamet Uliandi membantah lembaganya pernah membeli dan menggunakan Pegasus. Namun, ia mengakui lembaganya pernah menggunakan alat sadap bermetode zero-click.

Sementara itu, Badan Intelijen Negara belum merespons soal laporan IndonesiaLeaks mengenai penggunaan Pegasus itu.

Pada akhir 2022 lalu, Reuters melaporkan ada sekitar 12 pejabat senior pemerintah dan militer Indonesia menjadi sasaran serangan spyware dari Israel pada akhir 2021. Yang menjadi target serangan Pegasus yakni personel senior militer, dua diplomat regional, dan penasihat di Kementerian Pertahanan dan Luar Negeri Indonesia, serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Sumber: Nasional Tempo

Translate