Home ยป Anggota Dewan Pengarah : Saatnya Indonesia Menerapkan Pertanian Ramah Lingkungan
Asia Featured Global News Indonesia Lifestyle News

Anggota Dewan Pengarah : Saatnya Indonesia Menerapkan Pertanian Ramah Lingkungan

Eco-farming atau pertanian berkelanjutan dengan sistem pertanian ramah lingkungan sudah mulai diterapkan, termasuk di Indonesia. “Indonesia subur untuk tumbuhan organik, sudah saatnya kita goes to organic,” tegas Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inoasi Nasional (BRIN) Tri Mumpuni saat berdialog dengan periset di Kawasan Sains dan Edukasi Achmad Baiquni Yogyakarta pada Jumat, (28/7).

Menurutnya terdapat tiga prioritas utama BRIN yaitu kedaulatan pangan, kedaulatan energi, dan kedaulatan kesehatan. “80% kebutuhan pangan dunia justru berasal dari pertanian skala kecil, oleh sebab itu kita jangan berpikir masifnya atau harus skala besar, tetapi dari pertanian skala kecilpun apabila jumlahnya banyak maka akan dapat memenuhi kebutuhan pangan,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan budaya yang masih perlu dieksplorasi. “Indonesia punya Suku Anak Dalam, Badui Dalam, Dayak, dan lain-lain yang memiliki kebiasaan hidup mengkonsumsi apa yang disediakan di alam, hal ini perlu diiriset secara sungguh-sungguh,” jelas Tri Mumpuni.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Kelompok Riset Ekonomi Sirkular dalam Simbiosis Sumber Daya Alam dan Agro-Industri dari Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PRSPBPDH) – Organisasi Riset Energi & Manufaktur (OREM) BRIN, Tri Martini Patria memaparkan pengalaman keterlibatannya dalam riset penerapan eco-farming di Indonesia. “Pertanian ramah lingkungan merupakan sistem pertanian berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahanan produktivitas tinggi dengan memperhatikan pasokan hara dari penggunaan bahan organik, minimalisasi ketergantungan pada pupuk anorganik, perbaikan biota tanah, pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu,” ujarnya.

Ia mencontohkan pertanian bawang merah glowing di Nawungan Selopamioro, Imogiri, Bantul, DIY. “Kualitas bawang merahnya bagus, petani juga sudah menekan penggunaan pupuk anorganik dan pengendalian dengan pestisida sehingga lebih ramah lingkungan,” terangnya.

Menurutnya produktivitas bawang merah di sini mencapai 10 hingga 23 ton per hektare. “Hasil produktivitas bawang merah ini cukup baik dan bisa mensejahterakan petani. Namun, permasalahan sumber daya air yang dihadapi oleh petani juga cukup serius. Akan terjadi penurunan produktivitas yang signifikan manakala permasalahan air ini tidak segera diatasi,” ungkap Martini.

Salah satu periset Sosial Ekonomi PRSPBPDH BRIN, Hano Hanafi menyatakan walaupun produktivitasnya tinggi, tim peneliti memiliki peran terbatas dalam mendampingi petani. “Penelitian dan pendampingan pada tingkat pemasaran hingga ke proses jual-belinya masih terbatas, umumnya hanya sampai di tahap produksi terkait produktivitas dan kualitas hasil panen saja,” ujarnya. Hal ini menurutnya sangat riskan sebab eksisting strategi belum ada, sehingga petani rentan tertipu pemasaran.

Hano menyebutkan beberapa isu strategis yang masih harus ditindaklanjuti diantaranya terkait produktivitas yang sangat bergantung pada inovasi dan penerapan teknologi. Sampai saat ini banyak petani hortikultura yang masih menggunakan pola konvensional. “Hal ini menyebabkan daya saing produk hortikultura masih lemah. Inovasi teknologi sangat bergantung pada hasil penelitian dan pengembangan teknologi,” ungkapnya.

Ia mengakui bahwa kegiatan litbang belum berorientasi pada kebutuhan di lapang, pasar, dan karakteristik masyarakat Indonesia secara spesifik lokasi. “Hal ini menggambarkan adanya potensi kearifan lokal yang belum terkelola dengan baik seperti teknologi ramah lingkungan, teknologi antisipasi perubahan iklim, teknologi hemat air, teknologi perbanyakan benih bermutu, lain sebagainya,” kata Hano.

Beberapa inovasi telah dihasilkan baik mengadopsi dari negara luar maupun hasil litbang dari dalam negeri namun penerapannya masih terbatas. Tri Wahyuni periset PRSPBPDH BRIN menjelaskan bahwa budidaya bawang merah di Bengkulu tidak semaju di Bantul, bahkan terkadang petani tidak lagi membudidayakan bawang merah setelah demplot selesai. “Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain karakter masyarakat, tidak tersedianya benih, dan pemasaran yang belum tergarap,” jelas Yuni.

Martini menambahkan, hasil analisis keberlanjutan budidaya bawang merah glowing menggunakan tools Multi-aspect Sustainability Analysis, sektor pertanian yang sudah unggul ini bukan lagi di sisi produksi, panen, dan pascapanen, namun hilirnya yang perlu dikerjakan supaya petani dapat merasakan harga yang layak. “Pendekatan hilirisasi komoditas yang menjadi penyebab inflasi seperti padi, bawang merah, dan cabe merah penting untuk dilakukan dari hulu sampai hilir, pengolahan tanah, budidaya, mekanisasi, pascapanen, dan korporasi,” tambah Martini.

Pertanian ramah lingkungan juga sudah sudah diterapkan petani bunga potong krisan di Sleman dan Kulonprogo. “Komoditas hortikuktura memang relatif bernilai ekonomi tinggi seperti cabai merah, tomat, dan florikultura bunga potong, yang di kota Yogyakarta saja kebutuhannya mencapai 500 – 1000 ikat per minggu,” kata Martini.

Menurutnya bunga krisan memiliki faktor pembatas penyinaran, memerlukan inovasi budidaya dalam lingkungan yang terkendali. Selain sebagai tanaman shortday-plant yang butuh panjang hari 14,5 jam, tanaman ini dibudidayakan dlm rumah kubung beratap plastik uv untuk mengendalikan hama penyakit. Pemanfaatan insect screen menghindarkan tanaman terpapar Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Di Yogyakarta bunga krisan dapat lebih cepat berubunga. “Krisan ditanam pada tanah regosol vulkan muda di kaki Gunung Merapi, yang diberikan tambahan unsur hara sesuai kebutuhan tanaman, sehingga performanya sesuai harapan. Di lahan medium, bunga krisan bisa mekar saat berusia dua bulan,” pungkasnya.

Sumber: Brin

Translate