Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga mengatakan salah satu penyebab masih tingginya biaya logistik nasional adalah karena ketimpangan antara Indonesia timur dan Indonesia barat. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada pertengahan September lalu meluncurkan perhitungan baru yang menghasilkan biaya logistik nasional 2022 sebesar 14,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka tersebut turun hampir 40 persen dibandingkan biaya logistik yang dirilis Bank Dunia pada 2018 sebesar 23,5 persen. Namun, biaya logistik nasional 2022 tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya logistik untuk kegiatan impor Indonesia 2022 yang sudah mencapai angka 8,98 persen.
Menurut Airlangga dalam acara ‘Era Baru Biaya Logistik untuk Indonesia Emas 2045’ pada Kamis, (14/9), selama ini pembangunan nasional masih terfokus di Indonesia barat. Akibatnya, arus barang tidak seimbang antara Indonesia timur dan Indonesia barat, sedangkan pemerintah sendiri menargetkan biaya logistik nasional sebesar sembilan persen pada 2045.
Hal ini bisa dilihat dari utilisasi pelabuhan di kedua wilayah. Pelabuhan Tanjung Priok memiliki utilisasi sampai 90 persen, Tanjung Emas (Semarang) sebesar 95 persen, dan Tanjung Perak (Surabaya) sekitar 87 persen.
Sementara itu, utilisasi pelabuhan-pelabuhan di kawasan Indonesia Timur rata-rata masih di bawah 50 persen. Airlangga menambahkan bahwa utilisasi Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar yang tertinggi di Indonesia timur pun masih di kisaran 60 persen.
Airlangga seraya menambahkan bahwa pembangunan dan industrialisasi harus merata agar barang bergerak seimbang dari barat ke timur dan sebaliknya dari timur ke barat. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah yang sedang dikerjakan Menko Perekonomian.
Airlangga menjelaskan biaya logistik nasional memiliki dampak pada disparitas harga barang kebutuhan pokok. Dia mencontohkan harga daging ayam yang bervariasi antara Rp 28 ribu hingga Rp 48 ribu per kilogram. Mengingat efek buruk dari logistik bisa ke mana-mana, termasuk inflasi.
“Kalau logistic cost kita rendah, disparitas tidak akan terjadi. Logistik ini efeknya ke mana-mana, termasuk inflasi,” ujar Airlangga.
Direktur PT Pelindo Terminal Peti Kemas, anak perusahaan PT Pelindo (Persero) Muhammad Adji memberikan gambaran tentang ketimpangan tersebut. Pada 2020 misalnya, 7 pelabuhan strategis di Indonesia Timur (Bitung, Makassar, Biak, Ambon, Sorong, Jayapura, dan Kupang) membongkar 13,8 juta ton barang pada pelayaran domestik, tapi hanya memuat 6,2 juta ton barang.
“Sekembalinya dari timur, kapal-kapal yang datang dari Jakarta atau Surabaya hanya terisi 30 persen atau bahkan kosong,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Pelindo menyambut baik penurunan angka logistik tersebut dan terus mengupayakan transformasi di seluruh pelabuhan agar tercipta efisiensi, produktivitas, dan standardisasi dalam pengelolaan pelabuhan. Diharapkan dengan berbagai langkah tersebut, Pelindo bisa ikut serta menurunkan biaya logistik nasional, terutama memenuhi target sembilan persen pada 2045.
Sejak merger pada 1 Oktober 2021, Pelindo melaksanakan transformasi di sejumlah pelabuhan di Indonesia, termasuk di Indonesia Timur, seperti Makassar, Ambon, dan Sorong. Sejak September 2023 lalu, PT Pelindo mulai mengelola Pelabuhan Ternate (Maluku Utara) dan Merauke (Papua Selatan), menyusul kemudian Nunukan (Kalimantan Timur) dan Tarakan (Kalimantan Utara).
Kepala Pelindo Regional 4 Enriany Muis mengatakan bahwa transformasi di wilayahnya dilakukan di 13 pelabuhan dan terminal. Hasilnya, ada peningkatan produktivitas, setidaknya di TPK Makassar dan TPK Ambon.
“Hasilnya, produktivitas bongkar muat di Terminal Peti Kemas (TPK) Makassar dan TPK Ambon meningkat dari rata-rata 35 boks per jam per kapal menjadi rata-rata 50 boks per jam per kapal, sehingga port stay kapal di tambatan menjadi satu hari. Sebelumnya, rata-rata masih dua hari,” kata Enriany Muis dalam keterangan tertulis, Rabu (11/10).
Enriany menambahkan, peningkatan produktivitas bongkar muat juga terjadi pada kegiatan curah kering di Pelabuhan Makassar, seperti bongkaran 40 ribu ton yang semula 12-13 hari sekarang menjadi hanya enam hari. Makassar kini memiliki tiga HMC (Harbour Mobile Crane).
“Kami juga telah membuka traffic flow baru untuk kegiatan curah, yakni dengan menggunakan akses Gate 4 pada Terminal Peti Kemas 1 Makassar,” tambahnya.
Pelindo menyambut baik penurunan angka logistik tersebut dan terus mengupayakan transformasi di seluruh pelabuhan agar tercipta efisiensi, produktivitas, dan standardisasi dalam pengelolaan pelabuhan. Diharapkan dengan berbagai langkah tersebut, Pelindo bisa ikut serta menurunkan biaya logistik nasional, terutama memenuhi target sembilan persen pada 2045.
Sejak merger pada 1 Oktober 2021, Pelindo melaksanakan transformasi di sejumlah pelabuhan di Indonesia, termasuk di Indonesia Timur, seperti Makassar, Ambon, dan Sorong. Sejak September 2023 lalu, PT Pelindo mulai mengelola Pelabuhan Ternate (Maluku Utara) dan Merauke (Papua Selatan), menyusul kemudian Nunukan (Kalimantan Timur) dan Tarakan (Kalimantan Utara).
Kepala Pelindo Regional 4 Enriany Muis mengatakan bahwa transformasi di wilayahnya dilakukan di 13 pelabuhan dan terminal. Hasilnya, ada peningkatan produktivitas, setidaknya di TPK Makassar dan TPK Ambon.
“Hasilnya, produktivitas bongkar muat di Terminal Peti Kemas (TPK) Makassar dan TPK Ambon meningkat dari rata-rata 35 boks per jam per kapal menjadi rata-rata 50 boks per jam per kapal, sehingga port stay kapal di tambatan menjadi satu hari. Sebelumnya, rata-rata masih dua hari,” kata Enriany Muis dalam keterangan tertulis, Rabu (11/10).
Enriany menambahkan, peningkatan produktivitas bongkar muat juga terjadi pada kegiatan curah kering di Pelabuhan Makassar, seperti bongkaran 40 ribu ton yang semula 12-13 hari sekarang menjadi hanya enam hari. Makassar kini memiliki tiga HMC (Harbour Mobile Crane).
“Kami juga telah membuka traffic flow baru untuk kegiatan curah, yakni dengan menggunakan akses Gate 4 pada Terminal Peti Kemas 1 Makassar,” tambahnya.
Sumber : detikFinance