NII adalah singkatan dari Negara Islam Indonesia. Apa itu NII mungkin masih menjadi pertanyaan banyak orang. Sesuai namanya, NII merupakan gerakan yang bertujuan mendirikan negara Islam Indonesia.
Kelompok ini pernah memproklamasikan berdirinya Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia, seperti dikutip dari Jurnal Sosioteknologi Edisi 16 Tahun 8 April 2009.
Untuk lebih jelasnya, simak ulasan mengenai pengertian dan sejarah NII berikut ini yang dihimpun dari berbagai sumber.
Apa Itu NII?
NII merupakan kelompok Islam Indonesia yang tujuannya untuk membentuk negara Islam di Indonesia. Kelompok ini pernah memproklamasikan berdirinya Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia atau NKA NII pada 7 Agustus 1949.
NKA NII disebut juga sebagai Darul Islam, yakni rumah, wilayah, atau negara Islam. Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (selanjutnya ditulis Kartosuwiryo), salah seorang tokoh Masyumi Jawa Barat merupakan komandan tertinggi gerakan ini.
Darul Islam (DI) memiliki tentaranya sendiri yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII) yang merupakan bentukan dari laskar Hizbullah (tentara Allah) dan Sabilillah (jalan Allah).
Menurut Kartosuwiryo dan para pengikutnya, NII yang diproklamasikan melalui revolusi Islam itu merupakan implementasi pesan-pesan Islam yang kaffah.
Pendiri organisasi Khilafatul Muslimin, yakni Abdul Qadir Baraja disebut BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) pernah bergabung dengan NII sebab memiliki visi yang sama.
Sejarah NII
Gerakan Darul Islam (DI) merupakan gerakan politik yang terjadi pada awal 1948 bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan ini memiliki pasukan yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII) sehingga pemberontakan ini sering juga disebut dengan DI/TII.
Mengutip laman resmi Kemdikbud, pemberontakan DI/TII merupakan salah satu pemberontakan tersulit yang pernah dihadapi Indonesia. Pasalnya, pemberontakan ini menyebar di berbagai wilayah di Indonesia, dari Jawa, Aceh, Sulawesi, hingga Kalimantan.
Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Kartowurjo. Ia adalah tokoh pergerakan Islam Indonesia yang disegani pada masa pergerakan nasional.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Kartosuwiryo mendirikan sebuah pesantren di Malangbong, Garut, yaitu Pesantren Sufah, seperti dikutip dari buku IPS Terpadu oleh Nana Supriatna dan kawan-kawan.
Selain menjadi tempat belajar ilmu keagamaan, Pesantren Sufah juga dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabilillah.
Dengan pengaruhnya, Kartosuwiryo berhasil mengumpulkan banyak pengikut yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari pasukan TII.
Pada 1948 Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Renville yang mengharuskan pengikut RI mengosongkan wilayah Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah.
Hal ini kemudian dianggap Kartosuwiryo sebagai bentuk pengkhianatan Pemerintah RI terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat.
Bersama kurang lebih 2.000 pengikutnya yang terdiri atas laskar Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo menolak hijrah dan mulai merintis gerakan mendirikan NII.
Atas gerakan itu, pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai dengan cara membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir (Ketua Masyumi).
Namun, cara itu tidak berhasil sehingga pada 27 Agustus 1949, pemerintah secara resmi melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/ TII yang disebut dengan Operasi Baratayudha.
Jawa Tengah
Pemberontakan DI/TII di Jawa tengah dipimpin oleh Amir Fatah dan dan Mahfu’dz Abdurachman (Kyai Somalangu). Amir Fatah adalah seorang komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarjo, dan Mojokerto.
Pada 23 Agustus 1949, Amir Fatah memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII di Desa Pengarasan, Tegal. Ia lalu diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia.
Selain itu, di Kebumen juga muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu.
Kedua gerakan ini bergabung dengan DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosoewirjo. Pemberontakan di Jawa Tengah makin kuat setelah Batalion 624 pada Desember 1951 membelot dan menggabungkan diri dengan DI/TII di daerah Kudus dan Magelang.
Untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan tersebut, Pemerintah RI membentuk pasukan khusus yang disebut dengan Banteng Raiders.
Pasukan Raiders melakukan serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan Banteng Negara (OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian diganti oleh Letnan Kolonel M. Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh Letnan Kolonel A. Yani.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah berakhir pada 1954. Sementara untuk mengatasi pembelotan Batalyon 624, pemerintah melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Aceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh terjadi pada 20 September 1953 yang dipimpin oleh Daud Beureueh. Ia adalah pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang Agresi Militer Belanda I.
Pemberontakan ini berawal dengan adanya pernyataan proklamasi terkait berdirinya NII di bawah kuasa Kartosuwiryo. Hal ini kemudian didukung dengan kekecewaan yang dirasakan oleh para tokoh pimpinan masyarakat di Aceh.
Salah satu alasan kekecewaan mereka adalah Presiden Soekarno dianggap berbohong setelah menjanjikan Aceh boleh menerapkan syariat Islam dan tetap menjadi salah satu provinsi Indonesia.
Daud memutuskan melakukan pemberontakan dan menyatakan diri bergabung dengan DI/TII yang dipelopori Kartosuwiryo. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal ini dilakukan dengan dua cara, yaitu secara militer dan diplomasi.
Operasi militer dilakukan dengan melakukan Operasi 17 Agustus dan Operasi Merdeka. Sementara itu, cara diplomasi dilakukan dengan mengirim utusan ke Aceh untuk berdiskusi dengan Daud Beureueh.
Akhirnya, pemerintah pusat memutuskan memberikan hak otonomi kepada Aceh sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan diizinkan menerapkan syariat Islam. Pemberontakan DI/TII di Aceh dapat diselesaikan secara musyawarah pada 1962.
Sulawesi Selatan
Pada 1950 hingga 1965, pemberontakan DI/TII terjadi di Sulawesi Selatan, yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar, pemimpin Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan terjadi akibat adanya perbedaan cara pandang pemerintah dengan Kahar Muzakkar yang berkaitan dengan reorganisasi APRIS/TNI.
Sebagai pemimpin KGSS, Muzakkar menyarankan seluruh anggotanya mendaftar ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Namun, banyak dari mereka yang ditolak menjadi anggota APRIS karena dianggap tidak memenuhi syarat. Kahar Muzakkar yang merasa kecewa dengan keputusan APRIS mulai melancarkan aksi pemberontakan.
Aksi pertama berlangsung sejak 1950-1952, sedangkan pemberontakan kedua terjadi pada 1953-1965. Untuk mengatasi pemberontakan ini, TNI membentuk operasi militer bernama Operasi Bharatayudha.
Butuh sekitar 12 tahun untuk Bharatayudha menyelesaikan pemberontakan DI/TII. Kendati demikian, pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan berakhir setelah Kahar Muzakkar ditembak mati.
Kalimantan Selatan
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar pada 1950. Latar belakang terjadinya pemberontakan ini adalah rasa ketidakpuasan Ibnu Hadjar terhadap reorganisasi TNI, salah satunya ALRIS Divisi IV, kelompok tempat ia bertugas.
Sebab, reorganisasi ini membuat beberapa anggota ALRIS Divisi IV diberhentikan karena dianggap tidak memenuhi syarat, termasuk Ibnu Hadjar.
Ibnu Hadjar yang kecewa kemudian membentuk pasukan gerilya sendiri bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas. Ia melakukan penyerangan pertama ke kesatuan tentara di Kalimantan Selatan pada Maret 1950.
Menanggapi hal ini, pemerintah menerima Ibnu Hadjar yang saat itu menyerahkan diri. Bahkan, ia diterima kembali ke dalam APRIS. Namun, setelah diberi persenjataan lengkap, Ibnu Hadjar melarikan diri dan melanjutkan pemberontakannya.
Ibnu Hadjar sempat bersembunyi di dalam hutan guna menghindari kejaran TNI. Akan tetapi, setelah diberi janji pengampunan, Ibnu Hadjar bersedia menyerahkan diri pada 1963.
Ia sempat ditahan selama dua tahun sebelum dikirim ke Jakarta untuk menjalani proses pengadilan di Mahkamah Militer pada 11 Maret 1965. Ibnu Hadjar dijatuhi hukuman mati, ia meninggal dunia pada 22 Maret 1965.
Demikian penjelasan mengenai apa itu NII dan sejarah pemberontakan DI/TII di Indonesia. Semoga bermanfaat!
Sumber : CNN